“HP Ini Dalam Pantauan Istri”

Bismillah.

Sejak dulu, sudah sering beredar di medsos, para suami yang takut terhadap istrinya, dan bilang “Hape ini dalam pantauan istri.”
Serius pengen nanya:

Ini beneran apa cuma bercanda?
–> Kalau bercanda, berarti canda yang mengandung kebohongan?
–> Kalau beneran nyata, berarti itu menyiratkan beberapa hal negatif berikut:

  1. Sebagai suami, dia adalah suami yang tidak punya wibawa di hadapan istrinya. Sehingga, bukannya istri yang segan pada suaminya, malah suami yang takut pada istrinya.
  2. Suami yang takut pada istri, sedikit banyak, akan berdampak pada kepemimpinan dalam keluarga. Istri jadi berpeluang besar untuk lebih mendominasi. Alhasil, segala kebijakan berumahtangga akan banyak disetir oleh istri. Akhirnya, bukan lagi suami yang menjadi qowwam dalam keluarga, melainkan istri, wanita yang lemah akal dan agamanya.
  3. Istri yang gemar memantau hape suami, sadar atau tidak, telah kehilangan adab terhadap suaminya. Jika soal hape saja istri sudah berani pantau pantau, dalam berbagai urusan yang lain tentu akan lebih berani lagi untuk turut campur di luar wilayah ke-istri-an.
  4. Jika istri sudah minus adab terhadap suaminya, maka sangat besar kemungkinan, di mata istri, suami bukan lagi sosok imam/pemimpin keluarga yang mesti dihormati, disegani, dan dimuliakan. Suami tak lagi ada haibah, muru’ah, dan ‘izzah di hadapan istrinya sendiri.

Lantas, bagaimana sepatutnya?

  1. Jadilah suami yang berwibawa dan disegani oleh istri. Berwibawa bukan berarti harus kereng, jaim, jaga jarak, atau gemar uring-uringan. Bukan! Melainkan, harus tegas menerapkan batas-batas hak dan kewajiban suami istri.
  2. Jangan biarkan istri terlalu mendominasi terhadap suami. Istri harus diedukasi, apa yang boleh dan tidak boleh, apa hak dan kewajibannya, serta pentingnya turut menjaga privasi suaminya sendiri. Ada batas-batas dimana istri tidak boleh turut campur dalam urusan suami.

Dalam hal ini, sejatinya istri tidak boleh seenaknya sembarangan buka buka hape suami tanpa seizinnya; apalagi sampai memantau mantau; apalagi sampai suami menjadi takut pada istrinya sendiri. Sungguh, ruh berumahtangga seperti ini sangat tidak nyaman.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga kita, menjadikannya sakinah mawaddah warahmah. Aamiin.

  • Ammi Ahmad –

Bila Kamu Menyayangi Orang Tuamu

Bila kamu menyayangi orang tuamu, ringankan pertanggungjawaban mereka dengan ketaatanmu kepada suami bila kamu wanita, dan bertaubat dari teladan buruk yang mereka pernah turunkan kepadamu (merokok dll).

Karena keburukan yang kamu lakukan bila itu diturunkan dari orang tuamu bisa menjadi dosa jariyah bagi mereka. Na’udzubillahi min dzaalik.

Selamat Dipermainkan

Termasuk bentuk keburukan dan menumpahkan aib keluarga adalah seorang istri menasehati suaminya (atau sebaliknya) secara publik di media sosial, seperti dengan men-tag khusus pasangannya nasehat yang ngena terhadap kesalahannya dan disetting publik padahal bisa wapri atau bicarakan di rumah secara privat.

Bahkan jika seorang istri berkali-kali menceritakan kejelekan pria, kebuayaannya dan kesalahannya, di media sosial, yang itu akan mengundang tanda tanya besar para pembaca dan persangkaan bahwa suaminya tidak beres, maka ini juga termasuk keburukan.
Sejelek-jelek aib suami atau istri, maka yang hanya berhak mengetahui hanyalah masing pasangan, bukan umat. Menasehati tidak dengan cara tag pasangan. Jangan kesalahan pasanganmu jadi tontonan umat. Boleh jadi ia tidak ridha dinasehati dengan cara seperti itu apalagi pria, yang punya izzah dan kewibawaan. Pikirkan juga bahwa suatu hari boleh jadi aibmu pun akan Allah tampakkan ke umat.

Baik suami maupun istri (terutama istri karena lebih banyak kasusnya), tidak pula layak curhat akan kesalahan pasangannya via status wa. Ingat: suamimu atau istrimu bukan konsumsi publik. Ia milikmu. Kebaikannya untuk kau syukuri. Kekurangannya untuk kau sabari dan perbaiki. Bukan konsumsi publik. Kebaikannya bukan untuk dipamerkan sebagaimana orang-orang norak. Kekurangannya bukan untuk disiarkan sebagaimana orang-orang kufur nikmat.

Setan punya banyak cara agar rumah tangga hancur. Mungkin saja awalnya kesalahan pasangan itu kecil, namun diperbesar dengan dijadikannya ia sebagai konsumsi publik. Sehingga jadi bahan bincangan rekan dan tetangga. Menjadi bola panas dan asumsi-asumsi dusta tanpa disadari. Sekali kau bocorkan aib pasanganmu, ada ribuan mulut siap ghibah dan membincangkan kau dan pasanganmu. Sudah terjadi? Sudah.

Ustadz Hasan Al Jaizy

Himbauan Untuk Para Muslimah Dari Seorang Muslimah

Saya mengimbau kepada saudari-saudari saya para muslimah agar lebih banyak membaca kisah-kisah para Nabi dan sahabat serta para salafus sholih.

Muslimah, biasanya cenderung mudah kagum dan baper terhadap figur-figur tertentu yang ia temui khususnya di sosial media. Mudah hanyut dalam untaian kata ataupun kisah sedih mendayu-dayu di sosial media. Dari situ, mulailah muncul rasa pengaguman, pengidolaan, seolah ialah panutan muslimah masa kini. Mulai dari me-like seluruh yang ia bagikan di sosial media, hingga membenarkan segala tindak tanduknya walaupun itu berbenturan dengan firman Allah dan Rasul-Nya.


Ketika dihadapkan kepada fakta, bahwa panutannya tidaklah sebaik yang ia tampilkan di sosial medianya, bahkan bertolak belakang di kehidupan nyatanya, segara saja mereka menjadi reaktif. Mati-matian membela panutannya seolah ia adalah Nabi yang suci dan tidak boleh sedikit pun dipandang buruk.

Kalau saja mereka mau lebih banyak membaca kisah-kisah para salaf yang penuh pelajaran bagi kehidupan, mungkin mereka akan malu dengan dirinya.
Kalau saja mereka mau meluangkan sedikit waktu untuk menengok kembali kisah orang-orang yang namanya diabadikan dalam sejarah Islam, maka itu jauh lebih berguna dibanding bersikukuh bahwa panutannya adalah yang terbaik.

Kisah tabahnya Hajar bersama Nabi Ismail yang ditinggal Nabi Ibrahim di tengah gurun kering kerontang.
Kisah tukang roti yang biasa beristighfar dan begitu ingin bertemu dengan Imam Ahmad.
Kisah sahabat Abdurrahman bin Auf yang ingin miskin saking takutnya dengan hisab tapi justru bertambah kaya.
Kisah anaknya Harun Ar-Rasyid yang jadi kuli panggul di pasar demi menghindari fitnah harta dan kekuasaan yang dimiliki bapaknya.

Dan masih banyak lagi kisah lainnya…
Semuanya itu nyata dan menambah kecintaan kita kepada agama yang mulia ini.
Kisah mereka jauh dari drama lebay nan mendramatisir.
Kisah penuh hikmah penyubur iman.

Kisah-kisah ini banyak tercantum dalam kitab-kitab ulama yang sudah banyak diterjemahkan. Marilah kita menyisihkan sedikit saja harta kita untuk membeli buku-buku tentang kisah mereka, tentulah itu menjadi harta yang bermanfaat dan termasuk harta yang dibelanjakan di jalan Allah. Harta itu juga yang nantinya bersaksi di hari kiamat kemana ia dibelanjakan.
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Ummu Onca

Memberikan Zakat Kepada Ahlul Bid’ah

Ahlul bid’ah, yang kebid’ahannya jatuh pada kesyirikan, maka tidak layak mendapatkan bagian zakat. Karena orang kafir tidak berhak menerima zakat ( silahkan baca disini https://www.facebook.com/100009878282155/posts/1127005897638676/

Namun jika bid’ahnya tidak jatuh kepada kesyirikan dan dia seorang yang fakir atau miskin maka boleh menyalurkannya kepadanya dengan harapan dia bertaubat dari kebid’ahannya.

Syaikh Shalih bin Fawzan al Fawzan hafizhahullah ditanya :

ما حُكم دفع الزكاة لأهل البدع إذا كانوا من أقاربي؟

Apa hukum memberikan zakat kepada ahlu bid’ah, jika mereka dari kalangan kerabat saya?

Beliau menjawab :

البدع المُكفرة لا تدفع لهم الزكاة؛ وأما البدع التي ليست مُكفرة إذا كانوا فقراء وتألفهم فيها وتدعوهم إلى ترك البدع هذا شيء طيب. المنتقى من أخبار سيد المرسلين 27-12-1436هـ

Bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan kekafiran) tidak boleh diberikan zakat kepada mereka. Adapun bid’ah yang bukan mukaffirah, maka jika mereka orang fakir dan untuk melunakkan hati mereka serta mengajak mereka untuk meninggalkan bid’ah, tentunya ini perkara yang baik.” (Al Muntaqa Min Akhbar Sayyid al Mursalin 27-12-1436 H).

Selain ahlul bid’ah yang tidak boleh diserahkan zakat padanya, juga para pelaku maksiat, yang melakukan maksiatnya secara terang-terangan.

Berkata Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah :

ذكر شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله أنه لا ينبغي أن تعطى الزكاة من يستعين بها على المعصية فكل إنسان فاسق لا ينبغي أن يعان على فسقه”.

(اللقاءات الرمضانية: ص263)

“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan: Bahwa tidak semestinya zakat diberikan kepada orang yang dengannya akan membantu bermaksiat. Sehingga setiap orang yang fasiq tidak semestinya dibantu atas kefasikannya.” (Al Liqa’at ar Ramadhaniyah hal.263).

Dalam Mausu’ah disebutkan :

وقد صرح المالكية بأن الزكاة لا تعطى لأهل المعاصي إن غلب على ظن المعطي أنهم يصرفونها في المعصية، فإن أعطاهم على ذلك لم تجزئه عن الزكاة، وفي غير تلك الحال تجوز، وتجزئ

Dan sungguh Malikiyah menegaskan, zakat tidak boleh diberikan kepada ahli maksiat, jika muzakki memiliki dugaan kuat, zakat itu akan mereka gunakan untuk melakukan maksiat. Jika dia berikan kepada ahli maksiat untuk mendukung kemaksiatannya, zakatnya tidak sah. Namun jika diberikan untuk selain tujuan itu, boleh dan sah. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 23/328).

Dan juga diantara orang yang tidak boleh diserahkan zakat padanya adalah orang-orang yang tidak shalat.

Berkata Syaikhul-Islam rahimahullah:

ﻓﻤﻦ ﻻ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﺎﺟﺎﺕ ﻻ ﻳﻌﻄﻰ ﺷﻴﺌﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻮﺏ ﻭﻳﻠﺘﺰﻡ ﺃﺩاء اﻟﺼﻼﺓ

Barangsiapa siapa yang tidak shalat dari orang-orang yang punya kebutuhan, maka tidak boleh diberi bagian (dari zakat) sampai dia bertaubat dan komitmen melaksanakan shalat. (Al-Fatawa Al-Kubra: 5/373).

Untuk itu, selektiflah mencari orang-orang yang berhak menerima zakat, disamping dia fakir atau miskin, juga carilah orang yang taat dalam agamanya. Atau orang yang diharapkan bertaubat dari kemaksiatan atau kebid’ahannya.

Berkata Syaikhul Islam rahimahullah :

فينبغي للإنسان أن يتحرى بها المستحقين من الفقراء. والمساكين والغارمين وغيرهم من أهل الدين المتبعين للشريعة فمن أظهر بدعة أو فجورا فإنه يستحق العقوبة بالهجر وغيره. والاستتابة فكيف يعان على ذلك

Selayaknya bagi seseorang untuk menempatkan zakatnya pada orang yang berhak menerima zakat, baik orang fakir, miskin, orang yang kelilit utang, atau lainnya, yang agamanya baik, mengikuti syariah. Karena orang yang terang-terangan melakukan bid’ah atau perbuatan maksiat, dia berhak mendapatkan hukuman dengan diboikot atau hukuman lainnya. Sehingga, bagaimana mungkin dia dibantu (dengan zakat). (Majmu’ Fatawa, 25/87).

AFM

Copas dari berbagai sumber

Tanda-Tanda Kebahagiaan Seseorang

Di antara Tanda-Tanda Kebahagiaan Seseorang

قال ابن القيم رحمه الله: مِن علامات السعادة والفلاح أن العَبدَ كلما زِيدَ في عِلمِه زِيدَ في تَواضُعِه ورَحمتِه وخَوفِه وحَذَرِه، وكلما زِيدَ في عُمرِه نقَص مِن حِرْصِه، وكلما زِيدَ في مَالِه زِيدَ في سَخائِه وبَذْلِه، وكلما زِيدَ في قَدْرِه وجَاهه زِيدَ في قُرْبِه مِن الناس وقَضاء حَوائِجِهم والتواضع لهم.

الفوائد لابن القيم: (ص: 155)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
Diantara tanda-tanda kebahagiaan dan keberuntungan

☘ Bahwa seorang hamba itu setiap kali bertambah ilmu yang ia miliki maka semakin bertambah pula tawadhu’, kasih-sayang, rasa takut (kepada Allah) dan sifat waspada kepada-Nya.

☘ Serta setiap kali bertambah usianya berkurang ambisinya terhadap dunia.

☘ Setiap kali bertambah hartanya, maka bertambah pula kedermawanan dan sedekahnya.

☘ Setiap kali bertambah kedudukannya bertambah pula kedekatannya kepada manusia, menunaikan kebutuhan mereka dan rendah hati’ kepada mereka.

Kitab al-Fawaid karya Ibnul Qayyim rahimahullah hal: 155

Alih Bahasa:
Hari Febriansyah

Baarakallah fikum

Tentang Mencela Orang yang Ibadahnya Tidak Serajin pada Bulan Ramadhan

Di antara kekeliruan sebagian da’i menurut Syaikh ‘Ushaimi adalah mereka mencela orang yang setelah Ramadhan ibadahnya tidak serajin ketika Ramadhan.

Nabi sendiri membedakan kesungguhan beliau untuk Ramadhan dengan selain Ramadhan. Aisyah mengatakan:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ في رمضان ما لا يَجْتَهِدُ في غيره

“Nabi bersungguh-sungguh ibadah ketika Ramadhan dengan kesungguhan yang lebih daripada bulan selainnya” (HR Muslim)

Artinya, memang sudah selayaknya ibadah di bulan Ramadhan lebih banyak daripada selainnya. Begitu pula di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang tercela adalah jika ibadah2 tersebut lenyap tidak dilakukan lagi. Contoh, baca Quran cuma ketika Ramadhan, maka ini tercela. Adapun jika target/intensitasnya saja yang berkurang/kembali normal maka ini tidak tercela. Artinya memang dia mengistimewakan Ramadhan dibandingkan bulan2 selainnya.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=SfDgFHjyJG4

Ustadz Ristiyan Ragil Putradianto

Metoda Hisab

Di antara ulama yang konon katanya memakai metode hisab ini adalah Mutharrif bin Syikhhir seorang tabi’in terkemuka sebagaimana penisbatan ini disebutkan oleh An-Naawai dalam Majmu’ Syarah Muhadzzab (6/276), AlHafidz Ibnu Hajar Fathul bari (4/146), Al-Qurthubiy dalam tafsirnya (2/293).

Hanya saja penisbatan kepadanya TIDAKLAH BENAR hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid (14/352) dengan berkata: “ Hal itu telah diriwayatkan dari Mutharrif bin Syikhhir hanya saja riwayat tersebut TIDAK SHAHIH, kalau sekiranya itu shahih maka tidak wajib untuk diikuti karena itu adalah pendapat syadz”

Hal senada pula disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/146) dimana beliau menyatakan riwayat dari Mutharrif tidak shahih.

Bahkan beliau dengan tegas bahwa yang memakai metode hisab dalam penentuan bulan Hijriyah adalah kaum Rafidhah
Beliau (Alhafidz) berkata: “dan sekelompok orang berpendapat bahwa (penentuan bulan Hijriyah) itu kembali kepada Ahli Astronomi (dengan metode Hisab) dan mereka Ini Adalah KELOMPOK RAFIDHAH” (Fathul bari 4/152).

Ustadz Agus Susanto

Awal Mula Ketidaksetiaan Wanita

Awal mula ketidaksetiaan seorang wanita dan kerusakan lebih besar yang mengikutinya adalah, ketika dia berdandan dengan tabarruj, berharap dalam hatinya akan pujian dari lelaki ajnabi atas penampilannya

Ahlul Akhirah

As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâh berkata:

“Engkau akan dapatkan ahlul âkhirah (orang yang mementingkan akhirat) mereka tidak memperdulikan apa saja dari dunia yang terluput oleh mereka, jika ada sesuatu dari dunia yang datang kepada mereka, mereka menerimanya, dan jika ada sesuatu yang terluput oleh mereka, mereka tidak perduli dengannya.”

[Syarh Riyâdhis Shâlihîn 3/48]

IG Penerjemah: @mencari_jalan_hidayah

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑