Dai Sunnah Bisa Salah, Namun Kenapa Kamu Gembira?

Merupakan hal yang disepakati semua kalangan bahwa manusia biasa berpotensi salah dan melakukan dosa besar, baik di kesendirian maupun di keramaian. Para ulama, duat dan asatidzah (dari kalangan Ahlus Sunnah) pun tidak luput dari pernah berpendapat dengan pendapat keliru. Kendatipun begitu, kebaikan mereka lebih besar, lebih terlihat dan lebih masif efeknya, dibandingkan kesalahan, yang mungkin tidak disengaja, terjebak, atau mungkin sengaja, dan kelak meralat.

Tulisan ini tidak tentang para dai ahli bid’ah, ahli kalam, ahli filsafat dan anti dakwah Sunnah, baik dari madzhab hizbiyyah, harakiyyah, kuburiyyah hingga khurafiyyah. Keburukan mereka umumnya lebih masif daripada ishabah as-sunnah.

Tapi yang kita maksud adalah individu yang dasarnya memang bermanhaj Salaf, terus belajar, mengajar, menebar kebaikan ilmu dan amal di tengah kaum Muslimin. Ketergelincirannya adalah keniscayaan sebagaimana itu sifat kemanusiaan.

Para ulama Sunnah sejak lampau masing-masing punya kesalahan.
Di antara contohnya: Abu Bakr Ibn Khuzaimah rahimahullah (w. 311), seorang ulama ahli hadits bermadzhab Syafi’i yang berlatar belakang atsari sunni, menulis kitab at-Tauhid, berisikan riwayat-riwayat bersanad di bidang aqidah Ahlus Sunnah. Namun dalam masalah hadits shurah beliau menyendiri. Beliau berpendapat dhamir ه dalam صورته kembali ke nabi Adam, bukan Allah, yang mana itu menyelisihi pemahaman yang disepakati 3 generasi pertama (para Salaf). Bahkan beliau meriwayatkan secara jelas riwayat berikut:

فإن الله خلق آدم على صورة الرحمن

Di riwayat itu, langsung disebut lafal nama Allah yang mulia (الرحمن). Tapi beliau memilih idhafah kembali ke selain ar-Rahman. Hal ini terjadi pula pada Abu Tsaur, Abu asy-Syaikh al-Ashbahany dan lainnya dari ulama hadits. Perlu diketahui, bahwa pandangan mereka rahimahumullah diinkari oleh para ulama Sunnah saat itu dan setelahnya. Dan itu tidak menurunkan penghormatan terhadap mereka.

Abu Ahmad al-Karajy atau dikenal dengan julukan al-Qashshab (القصاب). Wafat kisaran 360 H. Beliau dengan ajaibnya menjelaskan panjang lebar keyakinan beliau bahwa mayyit setelah ditanya dengan soalan kubur, takkan memiliki ihsas (merasakan) suatu apapun, baik nikmat atau adzab. Nikmat dan adzab itu ada bagi beliau. Tapi merasakan keduanya tidak ada. Tidak ada ulama Sunnah berpendapat seperti itu. Dan ini masalah furu’ aqidah. Beliau menyendiri. Namun tidak mencederai posisi beliau sebagai ulama Sunnah.

Memiliki kesalahan adalah udzur manusia, walau tidak semua kesalahan bisa diberi udzur. Maka, siapapun imam dan dai Sunnah yang menyendiri dalam suatu permasalahan, sejak masa Sahabat hingga masa kini, tentang mereka ada matsal:

لكل عالم هفوة، ولكل صارم نبوة، ولكل جواد كبوة

“Setiap orang berilmu memiliki ketergelinciran. Setiap pedang ada masa melesatnya. Setiap kuda super pernah jatuh.”

Namun tentu di antara manhaj kita: kebenaran sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah serta petunjuk salaf diutamakan.

Artinya: tidak boleh kita ikut pendapat yang menyelisihi semua itu, sekalipun ulama kibar yang mengatakannya, alih-alih ustadz taraf lokal.

Juga nama baik alim yang tergelincir harus tetap dijaga. Tanbih dan nasehat tetap ada. Sebagai bentuk kecemburuan. Namun jangan melampaui batas, dengan julukan-julukan yang secara vulgar mengarah kepadanya. Ini adalah track yang ditempuh orang-orang yang berpenyakit. Setiap ada kesalahan dai fulan dan dai allan, maka ia bukannya merasa sedih dan ingin meralat agar membaik, justru ia bergembira. Adakah yang bergembira dengan tergelincirnya hamba shalih selain setan?!

Ustadz Hasan Al Jaizy

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: